Senin, 22 September 2014

PETUALANG YANG MENYERAH PADA KEBENARAN





PETUALANG YANG MENYERAH PADA KEBENARAN

Seorang anak muda dari negeri Persia atau Parsi, tepatnya dari Asfahan. Dikenal dengan nama Salman Al Farisi. Anak dari seorang tokoh kaya dengan tanah ladang yang sangat luas di desanya. Diceritakan, setiap panen, ayahnya menyimpan hasil penjualannya sampai beberapa almari. “Ia (ayahnya) amat mencintaiku hingga ia memingitku di rumah sebagaimana anak gadis dipingit di rumah” . Salman menceritakan perlakuan ayahnya kepada dirinya. Orang Parsi (sekarang Iran) dikenal sebagai pemuja api atau sering disebut dengan agama majusi. Dan Salman bertugas menjaga api agar terus menyala dan tidak boleh padam sesaatpun.

Perjalanan rohaninya dimulai ketika suatu hari ayahnya menyuruh pergi ke ladang. Dalam perjalanan menuju kebun, ia melewati gereja milik orang-orang Nasrani. Mendengar pujian-pujian dari gereja membuatnya penasaran. Dengan disertai rasa dan ingin tahu, Salman masuk ke dalam gereja itu. Setelah melihat cara mereka bersembahyang. Ia terkagum-kagum. “Demi Allah, agama orang-orang ini lebih baik dari pada agama yang aku peluk” . Salman mulai tertarik dengan agama Nasrani, sampai-sampai mengabaikan perintah ayahnya untuk pergi ke kebun.

Ketika hal itu diceritakan pada ayahnya, ia tak setuju bahkan berakhir dengan dirantainya kaki Salman dan dipenjara oleh ayahnya. Hanya kemudian ia bisa meloloskan diri dan bergabung dengan saudagar dari Syiria menuju asal agama Nasrani tersebut.
Di Syiria, ia tinggal bersama seorang uskup pemilik sebuah gereja. Salman menjadi pelayan, belajar, dan melaksanakan ajaran mereka. Sayang uskup tersebut memanfaatkan agama untuk kekayaan dirinya (sebagaimana kebanyaan uskup/ pendeta saat itu). Dikumpulkannya sedekah dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata hanya untuk dirinya pribadi. Hingga uskup tersebut meninggal.
Mereka mengangkat Uskup baru sebgagai gantinya. “Dan ku lihat tak seorangpun yang lebih baik agamanya dari uskup baru ini. Akupun mencintainya,…” Kata Salman tentang Uskup baru tersebut.
Tak lama kemudian, Uskup tersebut meninggal juga, dan Salman diperintahkan untuk ikut seorang pendeta di Mosul. Kemudian berpindah lagi, karena kematian pendeta tersebut, kepada seorang Pendeta di Amuria (suatu kota di wilayah kekuasaan Romawi).
Di akhir hayat sang pendeta, Salman kembali menanyakan, kepada siapa dia hendak menuju. Ujar pendeta: “Anakku! Tak seorangpun yang ku kenal serupa dengan kita dan dapat ku percayakan engkau kepadanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia! Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas: ia tidak mau makan shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian, yang bila kamu melihatnya, segeralah kau mengenalinya” .
Kebetulan pada suatu hari, lewat serombongan dari jazirah Arab. Mengingat pesan sang pendeta, Salman ingin ikut bersamanya. Dengan imbalan sapi dan kambing yang dimilikinya, akhirnya rombongan tersebut mau dibarengi Salman yang akan mencari guru barunya. Hanya saja rombongan itu berniat jahat. Di tempat yang bernama Wadil Qura, Salman dikhianati. Mereka menjual Salman sebagai budak kepada orang Yahudi. Dan dibawanya Salman ke Madinah untuk dipekerjakan di kebun kurma milik Bani Quraidhah. Demi melihat negeri Madinah seperti yang digambarkan oleh sang pendeta, Salman yakin bahwa tempat ini adalah tempat hijrahnya nabi yang akan dicarinya.
Saat Salman berada di puncak pohon kurma dan majikannya lagi duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seseorang mengabarkan tentang orang yang mengaku nabi datang ke Quba. Tubuh Salman bergetar demi mendengar kabar itu tak terbendung keinginannya untuk membuktikan sang nabi.
Di suatu petang, secara diam-diam, Salman menemui Rasulullah SAW di Quba, untuk menguji kebenaran akan ciri-ciri kenabiannya. Diberikannya makanan sebagai sedekah kepada rombongan Nabi SAW. “Makanlah dengan nama Allah” Sabda Nabi SAW kepada sahabatnya, tetapi beliau tak ikut memakannya sedikitp pun. “Demi Allah, inilah tanda-tandanya, bahwa ia tak makan sedekah” .
Keesokan harinya Salman menemuinya lagi sambil menyerahkan makanan kepada rombongan Nabi SAW sebagai hadiah. “Makanlah dengan (menyebut) nama Allah.” Sabda Rasullah dan beliau makan bersama-sama dengan para sahabat. “Inilah tanda yang kedua, bahwa ia menerima hadiah”. Kemudian Salman kembali.
Untuk membuktikan tanda kenabian yang ketiga, Salman menemui Rasulullah SAW di Baqi’ saat mengiringingkan jenazah. Demi melihat Salman, Beliau SAW paham akan maksudnya, dan disingkapkannyalah baju beliau sehingga nampak dipundaknya berupa cap kenabian sebagaimana yang disebutkan oleh sang pendeta. Melihat itu, Salman mencium Nabi SAW sambil menangis, dan menceritakan kisahnya pada RasulullahSAW, dan Salman Al Farisi r.a. masuk Islam. Sedang, menebus dirinya dari majikannya. Para Sahabatpun mambantunya sehingga Salman bebas.
Begitulah petualangan Salman dalam upayanya mencari kebenaran. Dari seorang kaya Majusi, yang tertarik pada agama Nasrani, kemudian berakhir menjadi budak orang Yahudi. Dan berakhir dengan sebuah kebenaran sempurna, Islam. Suatu pencarian yang tidak hanya berat, tapi butuh kesadaran tinggi dan kemauan yang kuat.
Dialah pula yang menawarkan ide cemerlang, ketika Madinah akan dikepung oleh sekitar 10 ribu pasukan ‘multi nasional’ yang dipelopori oleh Quraisy, qobilah Gothfan, dan yahuni Bani Quraidhah. Padahal saat itu penduduk Madinah seluruhnya hanya sekitar 10 ribu, baik tua, muda, anak-anak, bayi, wanita maupun laki-laki. Salman mengusulkan membuat parit yang mengelilingi kota Madinah, suatu strategi pertahanan yang belum  terbayangkan oleh orang Arab. Sehingga perang tersebut, selain dikenal dengan Perang Ahzab (artinya pasukan yang terdiri dari beberapa kelompok), juga dikenal dengan Perang Khandaq (artinya parit).
Ketinggian pribadinya menyebabkan dia dijadikan rebutan antara Anshar dan Muhajirin, walau Salman bukan berasal dari keduanya. Di waktu perang Khandaq tersebut, kaum Anshar (asli Madinah) pada berdiri dan berkata: “Salman dari golongan kami”. Bangkit pula kaum Muhajirin (orang yang hijrah dari Makkah) tak kalah serunya: “Tidak, ia dari golongan kami!” sampai-sampai mereka dipanggil oleh Rasulullah SAW, dan beliau bersabda: “Salman adalah golongan ahlul bait”. Ahlul bait artinya keluarga Rasululla SAW.
Ali karamallahu wajhah menggelari Salman dengan Salman dengan Luqmanul Hakim, dan ketika ditanya mengenal Salman, yang ketika itu telah wafat, beliau menjawab: “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami, ahlul bait”. Rasul SAW pun memuji Salman dengan “Sungguh, Salman dipenuhi dengan ilmu”.
Di masa kekhilafahan Umar bin Khathab, Salman Al Farisi diangkat menjadi gubernur Madain. Madain itu baratnya dikit kota Madiun, ya paling-paling perjalanan 5 jam, naik pesawat (huss, ini serius lho!). dapat tunjangan sebesar 5 ribu dirham setahun. Dan jika tunjangannya datang, semuanya dishadaqahkan, tak tersisa. Untuk keperluan diri dan keluarganya, Salman menganyam daun kurma. “Untuk bahannya ku beli satu dirham, lalu ku buat, dan aku jual tiga dirham. Yang satu dirham aku ambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, dan satu dirham sisanya untuk shadaqah. Seandainya Umar bin Khathab melarangku, sekali-kali aku tidak menghentikannya!” Begitu cerita Salman saat ditanya tentang penghasilannya.
Kesederhanaan Salman tercermin juga dalam pembuatan rumahnya. Saat bertemu dengan tukangnya, Salman bertanya: “Bagaimana corak rumah yang hendak anda dirikan?” Si tukang yang tahu akan kesederhanaannya menjawab: “Jangan khawatir, rumah itu dapat digunakan bernaung di waktu panas dan berteduh di waktu hujan. Andai anda berdiri, maka kepala anda akan sampai langi-langitnya, dan jika anda berbaring maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya”. “Benar, seperti itulah seharusnya rumah yang anda bangun” ujar Salman puas.
Karena penampilannya yang ‘biasa’, suatu hari saat masih menjadi gubernur, dia pernah diperintah oleh seorang Syiria untuk membawakan buah tin dan kurma. Di perjalanan, mereka bertemu dengan suatu rombongan, Salman memberi salam kepada mereka. Betapa kaget orang Syiria itu, ketika rombongan tersebut menjawab “Juga kepada Amir (gubernur), kami ucapkan salam”. Setelah mengerti sikon, orang Syiria itu takut dan menyesal seraya meminta beban dari tangan sang Gubernur. “Tidak, sebelum kuantarkan sampai rumahmu!”  Kata Salman tak peduli.
Begitulah Salman, ‘ningrat’, cerdas, (kelewat) sederhana, berjiwa petualang, pantang mundur, tapi menyerah pada kebenaran. Kesederhanaan Salman bukan suatu keterpaksaan, tapi kesadaran. Dia sadar akan tanggung jawab seorang hamba pada Rabbnya tentang harta, jabatan, dan ummat yang dipimpinnya.
Sumber: Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam, Karakteristik 60 Shahabat Rasulullah oleh Khalid M. Khalid, dan sebagainya.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Text Widget

Blogger templates

Blogger news

Blogger news

Blogger templates

Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts